
Oleh:
Husna, S. Ag (Guru SDN 03 Buatan II Kec. Koto Gasib Siak
Nurmaini, S. Pd.I (Guru SDN 01 Kerinci Kanan
SAMAWA adalah singkatan dari sakinah, mawaddah wa rahmah. Terkadang disingkat juga dengan SAMARA. Kata “sakinah” berasal dari bahasa Arab yang bermakna: tenang, aman, tenteram, rukun dan damai. Adapun kata “mawaddah” bermakna: cinta dan intim. Sedangkan kata “rahmah” berarti: belas kasih, kasih sayang dan bermurah hati. Jadi, keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah berarti keluarga yang di dalamnya penuh dengan ketenangan, ketentraman, keamanan, kerukunan dan kedamaian, semua anggotanya saling mencintai dan berkasih sayang di antara mereka.
Sakinah, mawaddah wa rahmah adalah keluarga ideal yang disebutkan dalam Alquran . Allah SWT berfirman QS. Ar-Rum (30): 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Setiap orang tentu berkeinginan untuk memiliki keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah tersebut. Lalu bagaimana caranya membina keluarga seperti itu? Untuk mencapai keinginan ini ada beberapa pilar yang harus ditegakkan:
Pertama, pendidikan agama fondasi keluarga. Pendidikan agama mempunyai peranan penting dalam membina keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebelum membina rumah tangga, Rasulullah SAW berpesan supaya dalam memilih pasangan hidup, baik suami ataupun isteri, agamanyalah yang harus diperhatikan. Dalam memilih calon suami utuk anak perempuan Rasul berpesan kepada ayahnya. Hadis Nabi SAW: “Apabila datang (meminang) kepadamu lelaki yang kalian sukai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah ia; jika tidak kalian lakukan maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di muka bumi ini.” (HR. Ibn Majah).
Kedua, memperhatikan hak dan kewajiban. Supaya tercapai keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, setiap anggota keluarga harus memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing. Hak dan kewajiban itu adalah hubungan timbal balik antara keduanya; hak suami adalah kewajiban isteri, sebaliknya kewajiban suami adalah hak isteri. Diantara hak seorang suami sebagai kepala keluarga adalah ditaati oleh isterinya dalam kebaikan.
Ketiga, memupuk kasih sayang. Sebuah keluarga haruslah senantiasa dipupuk dan dirawat dengan baik. Kasih sayang dapat dipupuk antara lain dengan saling mengucapkan salam dan memberi ucapan selamat. Rasul bersabda: “Apakah kalian mau aku tunjukkan sesuatu yang bila kalian lakukan akan membuat kalian saling menyayangi sesama kalian? Tebarkanlah salam di antara sesama kalian!” (HR Muslim). Maksud dengan “menebarkan salam” dalam hadis tersebut bukan hanya mengucapkan “assalamu ‘alaikum” saja, tetapi juga mencakup memberikan ucapan selamat pada momen-momen tertentu. Jangan enggan memberi ucapan selamat kepada anggota keluarga kita ketika hari raya, ulang tahun, hari ibu, hari ayah, ketika anak meraih prestasi dan lain-lainnya, karena hal itu akan memupuk kasih sayang di antara kita. Apalagi kalau ucapan tersebut dibarengi dengan “memberi hadiah”, maka hal itu akan menambah kasih sayang.
Keempat, bersikap adil. Adil adalah sendi dalam kehidupan manusia, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam bermasyarakat dan negara. Adil akan menciptakan keharmonisan hubungan seluruh anggota keluarga dalam menggapai keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Adil bukanlah memberikan hak dan kewajiban sama rata dan sama banyak. Tetapi, adil adalah memberikan hak dan kewajiban kepada anggota keluarga secara proporsional. Hak diberikan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sedangkan kewajiban dibebankan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tentu antara anak yang masih berumur 5 tahun dan masih sekolah di TK tidak akan sama hak dan kewajibannya dengan anak yang sudah berumur 19 dan sudah kuliah di perguruan tinggi.
Kelima, menjaga komunikasi yang baik. Untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah perlu dipelihara komunikasi yang baik antar anggotanya, baik di segi konten maupun di segi cara berkomunikasi.
Keenam, mengedepankan musyawarah. Hal in merupakan sendi dalam kehidupan masyarakat, begitu juga dalam berkeluarga sebagai komunitas sosial terkecil. Allah SWT memerintahkan supaya mengedepankan musyawarah dalam keluarga, sehingga dalam perkara menyapih (menghentikan menyusui) anak pun disarankan melalui jalan musyawarah. Firman Allah SWT: “Apabila keduanya [suami dan isteri] ingin menyapih anak (sebelum cukup umurnya dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS al-Baqarah (2): 233).